Posted by Rahayu Rista Astari
Cita
dan Cerita
Sabtu
06 April 2013, pukul 05.30 WIB tepat …
Aku
terbangun dan segera melirik jam weker yang ternyata lupa tidak aku atur
alarmnya. Aku mengutuk diriku sendiri mengapa sampai lupa tidak mangatur alarm
pada malam hari sebelumnya. Tanpa membuang waktu lagi aku segera bergegas
menuju kamar mandi untuk mandi dan melakukan persiapan untuk berangkat ke
sekolah. Bodohnya lagi aku belum mempersiapkan jadwal pelajaran yang akan
berlangsung pada hari itu. Dengan tergesa-gesa pula kumasukkan buku yang
terletak di meja belajar dengan asal, serta memasukkan baju pramuka, karena
hari itu di sekolahku ada jadwal ekstrakurikuler wajib yang harus diikuti yaitu
pramuka. Sambil tergesa-gesa aku berpamitan pada ibu dan langsung mengendarai
sepeda motorku. Tepat pukul 06.45 WIB aku baru berangkat dari rumah dengan
mengendarai sepeda motor. Hari biasanya jarak dari rumah ke sekolah bisa ku
tempuh kurang lebih 30 menit. Namun hari itu hanya tinggal sisa waktu 15 menit
saja untuk bisa sampai ke sekolah tepat waktu. Mau tidak mau aku harus
mempercepat perjalanan ku menuju ke sekolah dalam waktu 15 menit saja. Aku mengendarai
sepeda motorku dengan kecepatan yang tidak biasa yaitu 80 sampai dengan 90 km/jam, yang biasanya
hanya 50 km/jam. Di jalan raya pagi itu cukup padat karena bersamaan dengan jam
orang masuk kerja serta orang-orang masuk sekolah. Sampai di pertigaan jalan
aku menyalip bus yang sedang berhenti yang ternyata tepat di depan bus itu
terdapat pembatas jalan yang terletak tepat ditengah garis jalan raya.
Brukkk…!!!
Aku menabrak pembatas jalan itu dan bagian depan dari wajahku tepatnya gigiku
membentur aspal jalan raya, sementara sepeda motor yang ku kendarai menindih
kaki sebelah kiriku. Seragam SMA kebangganku yang aku kenakan sedikit koyak
terkena aspal. Yang ku ingat orang-orang di sekitar jalan itu langsung berhamburan
mengerubungiku dan beberapa menggotongku ke tepi jalan. Yang kurasakan saat itu
ialah takut, bingung, kaget, dan aku hanya bisa menangis. Sementara aku
merasakan darah segar mengalir dari bagian depan wajah ku tepatnya di mulutku.
Lalu salah seorang bapak membawaku ke klinik terdekat.
“Gigimu
tanggal satu dik, yang dua hanya agak goyang..“ begitu kata dokter yang
menanganiku. Dengan keadaan masih menangis aku bersyukur karena gigiku tidak
tanggal semua. Tapi aku juga khawatir sekaligus cemas karena kupikir aku akan
menjadi gadis ompong selama hidupku.
Satu
minggu kemudian…
Aku
dibawa ke dokter spesialis gigi untuk dipasangi gigi palsu. Semula aku agak
ngeri juga membayangkan gigi palsu yang nanti akan kupakai. Namun mau bagaimana
lagi ini merupakan salah satu cara untuk mengatasi rasa malu ku.
Dan
cita-citaku untuk menjadi polisi wanita pupus sudah. Sejak duduk di bangku SMP
memang aku bercita-cita ingin menjadi polisi. Dan ditambah lagi dengan keadaan mataku yang minus. Sejak
kelas 1 SMA, aku sudah mulai mencari informasi mengenai syarat-syarat untuk
lolos menjadi poisi.
Tahun
2015…
Sampai
saat ini aku masih menginginkan untuk menjadi polisi, entah mengapa aku sangat
menginginkannya. Sampai rutin meminum jus wortel, tomat, apel hingga rajin
makan sayur-sayuran berwarna hijau. Namun rasanya tidak mungkin karena
mengingat keadaan fisikku tidak memenuhi syarat. Mendengar kabar teman-teman
SMA seangkatanku yang kini lolos seleksi dan saat ini sedang mengikuti
pendidikan, aku selalu membayangkan bahwa aku yang berada di posisi mereka.
Pernah
suatu waktu ada kejadian lucu sekaligus memalukan tentang gigi palsuku ini,
karena gigi palsuku ini tidak permanen, jadi bisa dilepas pasang sewaktu-waktu.
Dilepas setiap kali mau gosok gigi misalnya. Jadi aku menghindari makan makanan
yang keras dan lengket seperti lemper, jadah, wajik, jagung bakar, dsb.
Makanan-makanan itu bisa membuat gigi palsu ini lepas.
Dan
itu tentu cukup mengganggu apalagi saat diberi suguhan ketika bertamu di rumah
orang. Pernah sekali waktu, saat itu hari raya Idul Fitri dan keluarga besarku
berkumpul untuk silaturahmi mulai dari
nenek, kakek, pakdhe, paman, sepupu, anak, dan cucu. Nah suguhan atau hidangan
yang disajikan sang pemilik rumah salah satunya ada makanan yang aku hindari itu, makanan tradisi keluarga yaitu
jadah tempe dan gula kacang. “Mbak Rista … ayo dimakan ini jadah tempenya
buatan sendiri loh” Begitulah kira-kira sang pemilik rumah menawariku. Dan aku
hanya bisa mengangguk dan senyum-senyum tidak jelas. Dan malunya lagi ibuku langsung
menceritakan kejadian kecelakaanku itu.